A Diary of a Housewife
This Blog contains culinary, recipes,education info, tourism, product info, personal experience, and anything that commonly a housewife concern
Wednesday, July 16, 2014
Wednesday, May 14, 2014
Berbagi Pengalaman Mengikuti Training NLP- Parenting
Sekilas Tentang NLP
Pertama kali aku mengenal istilah Neuro Linguistic
Programming atau NLP dari mulut salah seorang sahabatku , Novi Wilkinson, yang
tinggal di Kuala Lumpur. Saat aku mengunjunginya bulan Maret 2014 lalu, dengan
penuh semangat dia menceritakan bagaimana metode yang diciptakan oleh Richard
Bandler dan John Grinder tahun 1970-an ini dapat digunakan untuk mencapai
berbagai tujuan. Mulai dari mengingat pelajaran, melakukan deal dalam
berbisnis, mempengaruhi orang sesuai tujuan kita, dan lain-lain.
Penjelasan Novi yang penuh semangat itu malah membuat keningku
berkerut, bibir manyun , mata mendelik. Hihihi...lebay. Apaan sih? Aku tidak mengerti dan belum bisa membayangkan
seperti apa sebenarnya NLP itu.
“Besok ikut aku ya. Kita ke tempat
Mbak Oki. Dia psikolog yang sering
memberi pelatihan NLP. Aku yakin, kamu pasti tertarik. “ Seru Novi dengan penuh
antusias.
Keesokan harinya, Novi benar-benar
mengajakku mengunjungi apartemen cantik yang didiami mbak Oki. Wanita cantik
dan langsing itu sangat ramah menyambut kedatangan kami. Di sana aku berkenalan
dengan ibu-ibu yang dengan antusias mendengarkan penjelasan Mbak Oki.
Ternyata apa yang dikatakan Novi
benar adanya. Meski aku hanya sekilas
saja mendengarkan hal-hal yang dikatakan
Mbak Oki, materinya sangat menarik. Kok sekilas? Ya.. sayang sekali karena
keterbatasan waktu aku tidak bisa sampai selesai mendengarkan materinya.
Definisi NLP sangat banyak. Terus terang saja aku yang
awam ini malah pusing membaca definisi yang dinyatakan dalam literatur yang ada
di” mbah Google”, atau Wikipedia misalnya. Bahasanya canggih dan banyak memuat
istilah –istilah di dalam dunia psikologi.
Maklumlah emak-emak rempong kayak aku begini otaknya sudah nggak sanggup lagi
mencerna bahasa tingkat tinggi.
Jadi, aku mencoba mengartikan
sendiri definisi NLP itu menurut
pendapatku, sesuai kapasitas otak emak-emak yang sederhana ini...hihihi... Maaf
ya kalau salah. #Sungkem-sungkem dulu pada para pakar NLP#
Menurut arti kata, Neuro itu adalah
hal-hal yang menyangkut sistem syaraf manusia. Bagaimana manusia menyimpan pengalaman
yang di tangkap melalui panca inderanya, yaitu pendengaran, penglihatan,
penciuman, rasa dan pengecapan. Sedangakan Linguistic mengacu pada bagaimana manusia menuangkan
perasaan, pendapat, dan reaksinya terhadap sesuatu dalam bentuk bahasa. Dalam
hal ini bisa bahasa verbal, bahasa tubuh, ekspresi wajah, dll. Sementara
Programming adalah proses pembelajaran atau bisa juga diartikan membuat
program..hehehehe.
Jadi definisi NLP menurutku adalah bagaimana
manusia memprogram sebuah cara yang hebat dan efisien berdasarkan neuro dan linguistic untuk mencapai tujuannya.
Salah satu contohnya kira-kira begini. Dengan
memilih kata-kata yang tepat, diucapkan dengan cara yang tepat dan disertai ekspresi
dan gaya tubuh yang tepat, maka hasilnya
makjleb! Mendapat reaksi sesuai tujuan pelakunya. Hadeeh...#ngelap keringet,
capek mikir#
Ada banyak hal bisa dilakukan dengan
menggunakan NLP. Tanpa kita sadari selama ini kita banyak terperdaya oleh
keahlian orang-orang yang menggunakan metode ini. Contohnya para penulis yang
menuangkan tulisannya untuk memprovokasi sesuatu, sebut saja misalnya sebuah “black
campaign” atau tulisan yang menjelek-jelekkan salah satu calon presiden.
Tulisan itu dibuat sedemikian rupa menggunakan kata-kata dan susunan kalimat terprogram demi mempengaruhi pembacanya untuk membenci, kalau
perlu membenci setengah mati capres itu.
Bagaimana reaksi pembaca? Tidak sedikit yang terpengaruh. Bahkan dahsyatnya,
para pembaca itu lalu menyebarkan lagi tulisan itu supaya lebih banyak orang
ikut membenci sang capres. Maka tujuan sang penulis pun berhasil.
Pernah baca artikel yang berjudul “
Oh...Ternyata begini toh Kelakuan Istri Kader PKS?” . Judulnya menggelitik kan?
Pasti orang-orang yang hobby gossip, berita miring, dan rumpi merumpi langsung
meng” klik” artikel itu demi memuaskan rasa penasarannya. Padahal isi artikel
itu adalah pujian dan sanjungan terhadap
tokoh yang diceritakan. Judul itu sesungguhnya memakai teknik NLP. Membuat
pilihan kata yang mengundang keingin tahuan, sehingga orang membacanya.
Bagaimana dengan iklan-iklan? Aku yakin dibalik iklan yang sukses
mendongkrak penjualan sebuah produk, berdiri orang-orang kreatif yang menguasai
teknik-teknik NLP.
Selain itu, NLP bisa dipakai buat
hal-hal lain sesuai tujuan pemakainya. Misalnya bisa untuk menipu, merayu,
mempengaruhi orang supaya setuju atau mendukung sebuah pendapat. Bisa juga untuk membantu
orang menyembuhkan trauma, kesedihan,
membangkitkan semangat dan lain-lain.
Kalau begitu, seperti pisau bermata
dua, NLP bisa digunakan untuk hal yang negatif maupun hal yang positif,
tergantung siapa yang menggunakannya.
Enlightened and Empowered Parent Training
Sebagai emak-emak, aku sangat tertarik ketika mendapat info akan ada
training NLP dengan tema parenting.
Judulnya “ Enlightened and Empowered Parent” yang diadakan di hotel Oasis Amir
Jakarta, tanggal 10-11 Mei 2014. Langsung
daftar!
Senangnya, bisa bertemu lagi dengan
mbak Okina Fitriani, M. A., Psikolog yang merupakan nara sumber training ini.
Mbak Oki membuka pembicaraan dengan
gaya santai penuh canda. Maka meluncurlah curhat-curhat para emak dan bapak
peserta training yang menceritakan prilaku anak-anak mereka. Termasuk aku juga
yang meminta masukan bagaimana cara melarang anak melakukan sesuatu.
Mbak Oki mencontohkan dengan sebuah cerita.
Seorang Bapak melarang anaknya memainkan HP-nya. Ketika dia berkata, “ Jangan mainkan HP Papa ya!” Apa
yang terjadi pada anak? Yang terbayang dibenaknya adalah HP Papanya yang bagus,
ada fotonya, ada game angry bird-nya, dan lain-lain yang makin mendorongnya
untuk memainkan HP itu. Lalu yang terjadi justru si anak memainkan HP itu.
Lalu bagaimana caranya supaya tujuan
sang Bapak tercapai? Sebaiknya dia berkata “ Jangan mainkan HP Papa ya, Papa sedang
menunggu telepon penting. Untukmu sudah Papa siapkan mainan lego yang bagus di
kamarmu.”
ReFraming
Salah satu materi yang sangat menohok
hatiku dalam training ini adalah metode Reframing. Apa itu ReFraming? Frame
adalah cara seseorang melihat atau menilai suatu hal. Misalnya saja ketika seseorang, sebut saja si A sedang mengendarai
mobil mewah, lalu ada mobil murah yang menyalip
lalu mendahuluinya. Apa reaksi si A? Marah? Ingin menginjak pedal gas lebih
dalam untuk mengejar mobil murah yang berani-berani menyalip mobil mewahnya?
Bila demikian reaksinya, maka bisa disimpulkan bahwa frame yang terbentuk di
benak si A kira-kira begini :
“Punya mobil murah kok sombong?” atau
“Sekolah di mana itu orang,tidak mengerti peraturan apa? Nyalip kendaraan
seenaknya! Awas ya!”
Kalau yang demikian itu yang ada
dalam benak si A, sudah pasti reaksi A adalah marah, kesal, bahkan meluapkan
emosinya dengan cara memaki atau ngebut mengejar mobil yang menyalip itu.
Tapi dengan menerapkan metode
ReFraming, si A bisa saja memilih
persepsi seperti ini :
“Orang itu ngebut mungkin sedang buru-buru membawa anaknya ke rumah
sakit.” Atau “ Oh, dia mungkin sakit perut, kebeletan harus cepat-cepat ke
toilet.”
Kalau demikian yang terbentuk di
benaknya, maka tentu reaksi A santai
saja.
Contoh lainnya. B menghadapi orang-orang yang rajin menghina,
menjelek-jelekkan, memaki dan
merendahkan dirinya. Bila reaksi B
adalah sedih, marah, kesal, ingin membalas dengan prilaku yang sama buruknya
dengan para penghina itu, maka dengan metode ReFraming, B bisa memperoleh sudut
pandang yang berbeda seperti :
“Mereka itu penggemarku tapi dengan cara yang berbeda. Mereka
mengganggap aku jauh lebih baik sehingga mereka iri. Mereka patut dikasihani. Jadi aku orang yang
lebih beruntung dan lebih baik kehidupannya dibanding mereka.”
Persepsi yang demikian tentu
menghasilkan respon yang lebih baik bagi B. Dia tidak akan merasa sakit hati ataupun mengalami emosi negatif lain yang
mengganggu perasaannya.
Kesimpulannya, ReFraming adalah
metode yang membantu seseorang melihat sebuah keadaan dengan cara berbeda,sehingga bisa menghasilkan respon yang
terbaik.
Bisakah diterapkan untuk menghadapi anak? Tentu bisa. Bagaimana reaksi kita ketika barang
kesayangan kita dipecahkan atau dirusak anak-anak? Mau marah, ngomel
berkepanjangan, menjewer atau mencubit anak? Atau mau merubah persepsi dengan ReFraming
bahwa tidak ada barang kesayangan yang lebih disayang daripada anak. Silahkan
pilih sendiri. Hehehe...
Limiting Belief dan Metamodel-
Chunk Down
Berdasarkan pengalaman pribadi, ada
kalanya aku merasa sedih atau kesal pada diri sendiri karena merasa punya
kekurangan. Misalnya sering dalam benak aku men”judge” diri sendiri sebagai “
orang yang tidak disiplin”. Akibatnya malah parah. Karena hal itu aku malah
makin sering tak melakukan apa yang semestinya aku lakukan. Soalnya” Aku memang orang yang tidak
disiplin, kan? “ Pembenaran itulah yang kemudian timbul. Dalam metode NLP hal
ini disebut “ Limiting Belief” atau keyakinan mengenai diri atau hal-hal diluar
diri yang menghalangi untuk mempunyai pilihan respon yang luas.
Hal yang demikian itu bisa diatasi
dengan Metamodel- Chunk Down. Kita tanyakan diri sendiri dengan berbagai
pertanyaan. Untuk lebih jelasnya langsung melihat pada contoh sebagai berikut :
Limiting Belief : Aku orang yang
tidak disiplin.
Metamodel- Chunk Down :
Tanya ( T) : Tidak disiplin itu yang
bagaimana?
Jawab (J) : Tidak rutin dan tidak tepat waktu.
T : Apakah setiap saat seperti itu?
Pernahkah anda disiplin dalam hal tertentu? Kapan pernah bisa disiplin?
J : Tidak setiap saat. Untuk hal
tertentu aku disiplin. Aku bangun pagi, shalat subuh, mengurus keperluan anak
dan mengantar jemput anak sekolah.
T: Perhatikan perasaan anda saat bisa
disiplin. Artinya anda bisa kan?
J: Ya.
T : Bagaimana caranya agar anda bisa
disiplin untuk hal lainnya?
J: Membuat to do list dan
mematuhinya.
T: Bagaimana perasaan anda sekarang?
J: Mulai sekarang saya bisa disiplin.
Dengan pertanyaan-pertanyaan dan
jawaban-jawaban itu runtuhlah keyakinanku kalau aku orang yang tidak disiplin.
Yang timbul adalah keyakinan baru bahwa
aku bisa disiplin, sekaligus memperoleh solusi mengatasi ketidakdisiplinan
yaitu dengan membuat dan mematuhi to do list yang dibuat sendiri.
Bisakah hal ini diterapkan pada anak?
Bisa. Misalnya pada anak yang sudah kadung menganggap dirinya pemalas, tidak
percaya diri dan lain-lain. Coba yuk!
Rapport Building
Rapport building artinya membangun
kedekatan, dalam hal ini kedekatan dengan anak. Mbak Oki menjelaskan berbagai
kiat membangun kedekatan dengan anak.
Orang tua sebaiknya berfokus pada hal
yang baik dalam diri anak, terimalah yang sedikit darinya. Tidak mencela anak
tapi sering memuji perbuatan baik
anak. Ikuti nada suara anak ketika
menanggapi perkataannya, bila anak berkata dengan riang maka tampilkan pula
nada suara dan ekspresi wajah yang riang.
Sering kali tanpa disadari, orangtua
mengungkapkan emosi dengan cara salah. Bila marah diungkapkan dengan marah;
bila cemas diungkapkan dengan marah ; bila sedih diungkapkan dengan marah.
Mau tahu contohnya? Dalam hal ini aku
menunjuk muka sendiri. Hiks...Kalau marah reaksiku marah, itu sudah sewajarnya.
Tapi, pernah suatu hari saat aku menjemput Rafif di sekolahnya. Dari lapangan
parkir,aku melambaikan tangan supaya Rafif melihat kedatanganku. Saat itu wajah
letih Rafif berubah ceria. Bagai anak panah yang terlepas dari busurnya dia
lari melesat menyeberang jalan untuk menghampiriku, tanpa melihat kiri-kanan,
sehingga... ups!! Hampir saja tertabrak motor. Ya Allah..Kecemasanku naik ke
tingkat paling pol. Bagaimana reaksiku saat itu? Aku marah. Hadeeh... #tutup
muka# Padahal seharusnya aku memeluknya
melepaskan kelegaanku, dan mengingatkan Rafif dengan kata-kata yang lembut
untuk tidak lagi menyeberang sembarangan. Maafkan mama ya Rafif...
Sering-sering memeluk anak-anak,
mencium mereka atau membiarkan anak merasakan kehadiran kita di dekat mereka.
Sediakan quality time bersama anak, tidak harus lama, 15 menit pun cukup
asalkan benar-benar berkualitas.
Bagaimana menghadapi anak yang
berbohong? Kadang anak berbohong untuk mencari aman
karena orang tua bereaksi terlalu keras terhadap kesalahannya. Ketika anak
mengaku, katakan “ Terimakasih sudah berkata jujur” or “ Thank you for being
honest” sehingga anak merasa nyaman untuk selanjutnya berkata jujur pada orang
tuanya.
Belajar untuk mendengarkan anak
dengan tulus. Kebanyakan orang tua sekarang sibuk dengan urusannya, sehingga
seringkali tidak fokus mendengarkan anak. Padahal urusannya apa sih?
Balas-balas message di HP? Ngutak-ngutik gadget? Meladeni curhatan teman?
Hallowww..... Emak-emak! Anak tuh lebih penting! #jewer kuping sendiri#...hiks...hiks..
Anak lebih peduli pada apa yang
dilihatnya daripada apa yang didengar. Mau contoh? Misalnya begini:
Mama sedang asyik ngetik di laptopnya, lalu Dea datang mendekat.
Dea : “Mama, tadi nilai try out
matematika Dea 10, kata Pak Guru...bla...bla..bla..”
Mama : “ Apa? “ ( nggak fokus, masih
sibuk ngetik)
Dea : “ Ih, Mama ini. Jadi begini,
bla..bla...bla....... Bagus gak, Ma?”
Mama : “ Bagus.” ( Dengan ekspresi
datar tetap memandang layar laptop)
Dea : ( Manyun. Masuk ke kamar).
Apa yang terjadi sebenarnya?
Kesalahan mamanya adalah :
1. Tidak mendengarkan dengan tulus
2. Ekspresi wajah saat memuji tidak “ sinkron”
Lalu apa yang terjadi pada Dea? Dia
kecewa, mulutnya jadi manyun begitu. Yang tertangkap di benaknya adalah wajah
datar mamanya. Ekspresi datar itu diartikannya bahwa pencapaiannya tak cukup baik
buat mamanya, meski mama bilang bagus. Jadi Dea lebih memperhatikan apa yang
dilihatnya ( ekspresi wajah datar mama) daripada apa yang didengarnya.
Duuuh.... #mewek# Maafkan Mama ya Dea...
Communication Pattern
“ Belajarlah, nak! Kalau tidak
belajar nanti tak lulus ujian!”
Sering mendengar atau mengucapkan
kalimat tersebut pada anak? Ternyata itu bukanlah kalimat yang baik untuk
membangkitkan semangat belajar anak.
Menurut istilah dalam NLP yang
disebut hypnotic languange pattern,
sebaiknya anak diajak membayangkan hasil yang baik. Misalnya “ Mama
ingin tahu, bagaimana ya rasanya kalau kamu lulus dengan nilai terbaik?”
Untuk menyuruh anak mengerjakan
PR, berikan pilihan pada anak. Tapi
harus di tentukan dulu tujuannya. Misalnya tujuannya atau Desire State (DS)-nya
adalah agar anak mau mengerjakan PR.
Kemudian katakan padanya “ Adik mau mengerjakan PR sekarang atau 5 menit
lagi?”. Kalau anak menjawab “5 menit lagi.” sebaiknya pasang alarm yang
berbunyi setelah 5 menit. Tidak apa-apa orangtua menunggu selama 5 menit, yang
penting tujuan akhirnya yaitu anak membuat PR, tercapai.
Saat sedang mengikuti training, HP-ku
berdering. Anin, anakku yang pertama menelepon. “ Mama, Anin bosen di rumah.
Mau nonton ya... Anin pergi sama Dea.” Katanya
dengan nada menuntut.
“Mama lagi training, sayang. Kita
pake sms saja ya. Kalo telpon nanti menggangu teman-teman Mama yang sedang
belajar.” Kataku.
Seketika itu aku mencoba menerapkan
konsep yang diajarkan dalam training ini. Aku tak setuju kalau Anin dan Dea
pergi ke mall untuk menonton hari ini, karena aku sedang tidak ada dirumah. Aku
ingin aku sendiri yang mengantar mereka ke mall dan memastikan mereka
aman dan baik-baik saja. Artinya kalau mereka mau nonton, tidak bisa hari
ini. Tapi aku tahu bagaimana anak-anakku
kalau sudah punya keinginan. Biasanya mereka akan terus merengek sampai aku
mengabulkan permintaan mereka.
Mula-mula aku tetapkan tujuanku, atau
desire state : tidak boleh menonton hari
ini. Lalu mulailah aku dan Anin berbalas-balasan sms.
Anin : Ma, Anin pengen nonton “Marmut Merah Jambu”.
Anin pergi sama Dea ya? Bosan Ma,
dirumah terus. Kan Anin sudah selesai
UAN. Jadi pengen refreshing dong..
Aku : Dea tadi sudah janji sama Mama
hari ini mau belajar. Dia kan belum ujian akhir. Jadi hari ini Dea belajar
dulu. Anin mau nonton hari Senin berdua
Dea saja atau nontonnya hari Selasa sama Mama dan Bapak?”
Anin: Senin aja deh.
Makjleb... tercapailah tujuanku,
tanpa banyak argumentasi dari Anin. Yeeaaay......!
Meminta anak mengerjakan tugas tentu
lebih menyenangkan bila memakai kalimat seperti ini ,” Sambil mengerjakan
tugas, adik mau dibuatkan apa? Pisang goreng? Milks shake?”
Menyuruh anak berhenti main game
lebih asyik bila begini, “ Sudah yuk main game-nya. Main scrabble sama Mama
yuk!”
Mau menyuruh anak gosok gigi, katakan
saja “Siapa yang belum gosok gigi?”
Satu hal yang sangat penting untuk di
perhatikan adalah gunakan intonasi yang
manis, sehingga anak-anak tidak merasa dilarang, disuruh atau diperintah.
Masih banyak cara berkomunikasi yang
dijelaskan dalam training ini, semuanya menarik. Kalau mau dituliskan masih butuh
berlembar-lembar halaman lagi, jangan-jangan yang membacanya nanti keburu
capek. Hehehe..
Ada satu hal yang sangat berkesan buatku. Sebuah cara unik diajarkan di
training ini, yang tujuannya untuk memperbaiki kekurangan diri atau untuk
membangkitkan kemampuan diri.
Bagaiman caranya? Dengan membuat
tombol untuk mengaktifkan energi positif yang kita inginkan.
Misalnya begini. Aku seringkali tidak
sabar menghadapi ulah anak-anak. Dalam keadaan tertentu kemarahanku bisa
meledak. Karena itu aku merasa perlu membuat “tombol sabar” yang bisa aku
aktifkan kapanpun dibutuhkan.
Mula-mula tentukan dulu dimana letak
tombol sabar yang kita inginkan. Usahakan tombol itu ada pada tubuh kita,
misalnya di sebuah titik di pergelangan tangan, di telinga, atau di mana saja
sesuai keinginan.
Dengan petunjuk dan arahan dari Mbak
Okina, semua peserta mempraktekkan cara mengaktifkan tombol. Mula-mula peserta
berdiri dan berkonsentrasi, menentukan sebuah area, bisa berbentuk lingkaran
atau apapun. Lalu di area tersebut peserta membayangkan diri atau mengingat
keadaan di mana dirinya dalam keadan yang sabar. Keadaan itu terus dibayangkan
hingga para peserta merasakan perasaan sabar memasuki dirinya hingga
sedalam-dalamnya.
Langkah selanjutnya adalah
membalikkan tubuh ke arah yang berbeda.
Lalu membayangkan sebuah kondisi yang biasanya membuat peserta marah atau
kehilangan kesabarannya. Yang kemudian dilakukan adalah menekan tombol sabar itu dan merasakan perasaan sabar
memasuki diri sampai sedalam-dalamnya hingga bisa menghadapi kondisi yang buruk
dengan respon terbaik.
Apakah hanya tombol sabar yang bisa
kita buat? Tentu saja tidak hanya itu.
Kita bisa membuat tombol semangat yang bisa diaktifkan sewaktu-waktu bila
semangat sedang menurun. Bisa juga membuat tombol gembira, tombol nyaman, tombol
rajin, atau apapun sesuai kebutuhan.
Mengikuti training ini seolah membuka
mataku menemukan banyak kesalahan yang telah aku lakukan dalam mendidik anak-anak selama ini. Kesalahan yang tanpa
sadar kulakukan itu rasanya ingin kutebus dengan berusaha keras menjadi mama yang
terbaik bagi anak-anakku. Semoga aku bisa... Bismillah
Penasaran ingin tahu lebih banyak
tentang NLP- Parenting? Ikut saja trainingnya! Yuk...!
Tuesday, April 29, 2014
Saturday, March 15, 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)